Buku “Kebudayaan Mentalitet dan
Pembangunan” karya Koentjaraningrat merupakan satu tulisan ilmiah yang mengkaji
mental dan pembangunan menurut pandangan kebudayaan. Para ahli sosial
mengartikan konsep kebudayaan dalam arti luas sebagai seluruh total dari pikiran,
karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan yang
karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
Dengan demikian, untuk menganalisa konsep kebudayaan tersebut dipecahkan ke
dalam beberapa unsur. Unsur-unsur terbesar yang terjadi karena pecahan tahap
pertama disebut “unsur-unsur kebudayaan yang universal”, dan merupakan
unsur-unsur yang pasti bisa didapatkan di semua kebudayaan dunia, baik yang
hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat ke
kotaan yang besar dan kompleks. Unsur-unsur universal tersebut yang merupakan
isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, diantaranya; sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan
peralatan.
Selanjutnya kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga
wujud; Pertama,
sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan.
Kedua, sebagai
suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia. Akan tetapi,
secara mendalam mengenai kebudayaan mentalitet kebudayaan secara tegas dalam
buku ini dijelaskan bahwa berdasarkan kesimpulan dalam sebuah seminar di tahun
1970 menyatakan bahwa “sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk
pembangunan”. Pernyataan ini jika dikaji lebih dalam dapat terlihat pada era
sekarang ini, sehingga memerlukan suatu bayangan ke depan mengenai bentuk
masyarakat seperti apakah yang ingin kita capai dengan pembangunan kita, dan
hal ini yang belum dikonsepsikan oleh bangsa ini. Mental orang Indonesia sangat
rapuh dalam menghadapi pembangunan dan setiap pola pembangunan yang ditawarkan sangat
rentan dengan permasalahan. Keadaan masyarakat yang multikultural dengan
berbagai konsep yang dimiliki dan berlainan satu dengan lainnya belum mampu
mencapai satu kesepahaman tujuan. Dengan demikian penyempurnaan konsep
demokrasi sangat dibutuhkan dalam membentuk mentalitas pembangunan dan tentunya
dengan terus berupaya untuk menghasilkan karya yang
lebih dapat dibanggakan.
Koentjaraningrat mencontohkannya dengan kondisi orang desa yang biasanya
bekerja dalam sektor pertanian, dan mentalitet mereka adalah suatu mentalitet
yang khas, yang disebut dengan mentalitet petani. Dan juga sebaliknya, dengan
orang kota bekerja sebagai buruh, pedagang, usahawan, atau pegawai. Baik kelas
buruh maupun kelas pedagang dan usahawan masih lemah, sehingga kehidupan kota
dikuasai oleh kelas pegawai yang amat bergengsi, dan mentalitet penduduk kota
didominasi oleh mentalitet pegawai sedangkan kota-kota di Jawa Tengah dan Timur
didominasi oleh mentalitet priyayi, dimana mereka memiliki konsep bahwa manusia
itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh masyarakat dan
alam semesta sekitarnya, dan di dalam sistem makrokosmos tersebut ia harus
merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsure kecil saja, yang ikut terbawa oleh
proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. Terutama dalam mentalitet
priyayi telah berkembang dari pandangan hidup itu, suatu mentalitet yang
terlampau banyak menggantungkan diri kepada nasib.
Suatu mentalitet seperti itu tidak amat cocok dengan jiwa pembangunan.
Berbeda halnya dengan mentalitet petani Indonesia yang
menilai tinggi konsep sama-rata-sama-rasa. Dalam rangka ide ini ada suatu
konsep penting, ialah bahwa manusia itu di dunia ini pada hakikatnya tidak
berdiri sendiri, bahwa ia selalu bisa mendapat bantuan dari sesamanya, terutama
dari kaum kerabatnya dalam masa kesusahan. Lebih lanjut buku ini juga mengkaji
perbedaan antara Kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Dalam kenyataannya,
Koentjaraningrat menggambarkan bahwa berbagai kebudayaan suku-bangsa di Indonesia
(yang oleh Koentjaraningrat dapat digolongkan ke dalam “Kebudayaan Timur”)
memang mementingkan upacara-upacara adat yang bersifat religi, penuh dengan
unsur-unsur prelogis; mementingkan diskusi-diskusi tentang kebatinan; dan
mementingkan mistik. Orang Indonesia memang tidak suka berusaha dengan sengaja,
dengan gigih dan tekun, agar dapat mencapai suatu tujuan material, akan tetapi
tidak berarti bahwa mereka tidak mementingkan materi. Sebaliknya, sukar juga
untuk mengatakan bahwa Kebudayaan Barat tidak mementingkan kehidupan rohaniah.
Kritisnya buku ini menyajikan mentalitas pembangunan yang
mencoba melihat perbedaan antara manusia yang hidup dalam lingkungan kebudayaan
di Timur dan manusia yang hidup dalam lingkungan kebudayaan di Barat yang diperkaya
dengan contoh-contoh yang terjadi di setiap penjuru dunia, dengan menggunakan
konsep psikologi dari Hsu. Sehingga dapat memetakan dan memberikan pemahaman
kepada pembaca secara jelas mengapa peradaban dan keilmuwan lebih cepat
berkembang dan mengalami kemajuan berdasarkan kedua kebudayaan tersebut.