Oleh : Abdullah
Sebagaimana diketahui, Aceh memiliki keunggulan kebudayaan yang
diikuti dengan nilai-nilai Islam, karena itulah Aceh di sebut dengan Serambi
Mekkah. Aceh tidak hanya telah melahirkan kultur dan peradaban Islam, tetapi
juga para pemuka agama Islam. Di samping itu, Aceh juga melahirkan para pejuang
lokal yang memiliki militansi nasionalisme dan semangat bela-negara yang
tinggi.
Semangat yang diperlihatkan
oleh para pejuang Aceh dulunya tentu dalam rangka untuk menciptakan situasi
damai, kehidupan harmonis serta persatuan dan kesatuan di wilayah Aceh.
Disadari atau tidak pada satu sisi pilkada merupakan moment strategis untuk pendidikan politik yang
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan juga pembangunan daerah. Namun pada
sisi yang lain, pilkada juga dapat merusak suasana aman, damai, tenang, nyaman
dan harmonis termasuk juga di Aceh. Karena lewat pilkada, bisa jadi satu dengan
yang lainnya bisa saling hasut-menghasut, fitnah-memfitnah, hina-menghina, dan
jatuh-menjatuhkan yang pada akhirnya berujung pada konflik.
Mungkin ada beberapa bentuk
pelanggaran yang mungkin sering kali terjadi pada saat penyelenggaraan pilkada,
di antaranya adalah: Pertama, money
politics (politik uang).
Sepertinya money politics ini selalu saja menyertai dalam setiap
pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masyarakat yang pendapatannya
cenderung menengah ke bawah, maka dengan mudahnya pasangan calon beserta tim
suksesnya untuk membeli suara pemilih. Kedua, intimidasi.
Ini merupakan kegiatan
politik yang sangat berbahaya,
dimana seseorang/ sekelompok pemilih bisa saja diintimidasi untuk menentukan
pilihannya pada calon tertentu karena beberapa faktor, seperti kekuasaan,
kekuatan dan kekayaan. Ketiga, kampanye negatif. Ini biasanya terjadi karena
kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat dan juga sebagian
masyarakat masih sangat kurang informasinya terhadap pasangan calon. Jadi
mereka hanya percaya dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi
panutannya.
Disadari bahwa salah satu
penyebab terjadinya konflik di berbagai daerah akhir-akhir ini adalah
penyelenggaraan pilkada. Pesta demokrasi yang diselenggarakan di Aceh, diakui
memiliki beberapa potensi kerawanan. Termasuk di dalamnya juga kegiatan
pemilihan gubernur Aceh. Di samping pemilihan gubernur, 20 kepala daerah
kabupaten/kota yang saat sekarang sedang diperebutkan oleh beberapa pasangan
calon bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota disadari atau tidak, di
sana sini akan menimbulkan berbagai macam gesekan kepentingan yang tidak hanya
melibatkan para tim sukses, melainkan juga para simpatisan masing-masing
pasangan.
Beragamnya perbedaan dan
kepentingan yang dimiliki masing-masing pasangan beserta tim sukses dan
simpatisannya, manakala disikapi dengan itikad untuk menjaga perdamaian, kita yakin dan percaya kegiatan pesta
demokrasi lokal ini akan berjalan dengan aman, sukses dan damai. Satu saja di
antara kandidat, tim sukses dan simpatisan yang melakukan pelanggaran, maka
dalam waktu relatif singkat akan berbias tidak baik pada kehidupan masyarakat.
Semua elemen masyarakat
yang ada di Aceh berkepentingan mempunyai peran untuk menjaga perdamaian,
kapanpun dan di manapun berada. Diakui bahwa suasana damai jauh lebih baik
ketimbang suasana konflik. Dengan damai, rezeki akan kian membaik, sahabat kian
bertambah, ibadah semakin khusyuk, pembangunan kian lancar dan masing-masing
keluarga kian sejahtera.
Saya sangat menyayangkan
apa yang terjadi beberapa bulan belakang, dimana terjadi kesalahpahaman antar
pendukung calon gubernur yang berakibat pada pembakaran atribut pilkada dari
salah satu partai lokal di Aceh. Pada akhirnya kesalahpahaman tersebut berakhir
damai dengan cara mediasi yang dihadiri oleh masing-masing wakil dari kedua
belah pihak. Tidak lama berselang dari kesalahpahaman antar pendukung yang
berujung pada pengrusakan atribut pilkada, dan kini pengrusakan atribut pilkada
kembali terjadi di daerah Aceh Jaya yang diduga dilakukan oleh salah satu tim
pendukung calon bupati. Padahal sebelumnya kita baru saja mengikuti Deklarasi
Pilkada Berintegritas dan Damai yang diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) di masing-masing daerah.
Untuk itu, kita semua yang
ada di wilayah Aceh ini harus senantiasa bersama, bersatu, dan seiring dalam
menjaga perdamaian ini. Perlu kita pahami bersama di kala kita menyatakan diri
untuk mencalonkan diri dalam mengikuti pilkada, maka pada saat itu kita harus
siap menerima apapun hasil akhirnya pesta demokrasi lokal ini.
Jika sejak dari awal agenda
kegiatan pilkada ini sudah kita pastikan kemenangan menjadi Bupati/Walikota,
maka di kala hasil akhirnya kalah kita tidak siap mental untuk menerima
kekalahan tersebut. Kesiapan mental untuk menerima kekalahan ini tidak hanya
dibangun untuk pasangan calon, melainkan juga untuk tim sukses dan juga
simpatisan dari masing-masing pasangan calon.
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.